Oleh:
Nurchaili
|
Guru sejatinya bukan sembarang pekerjaan, melainkan profesi yang pelakunya memerlukan berbagai kelebihan, baik terkait dengan kepribadian, akhlak, spiritual, pengetahuan dan keterampilan. Peran guru bukan sekadar mentransfer pelajaran kepada peserta didik. Tapi lebih dari itu guru bertanggungjawab membentuk karakter peserta didik sehingga menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan terampil dalam menjalani kehidupannya.
Perlu
diinsafi, guru merupakan warisatul ambiya dan sekaligus teladan kehidupan dalam
lingkup yang luas dan menyeluruh. Inilah tugas guru yang amat strategis dan
mulia. Apalagi dewasa ini kehadiran guru sebagai pendidik semakin nyata
menggantikan sebagian besar peran orang tua yang notabene adalah pengemban
utama amanah Allah SWT. atas anak yang dikaruniakan kepadanya. Dengan
berbagai sebab dan alasan, orang tua telah menyerahkan bulat-bulat tugas dan
tanggungjawabnya kepada guru di sekolah dengan berbagai keterbatasannya.
Demikian pula masyarakat yang kontrol sosialnya semakin melemah dan
pemerintah yang selama ini lebih menitikberatkan pembangunan di sektor fisik,
semuanya ikut mengambil andil terhadap kegagalan pembentukan karakter bangsa.
Menyadari
hal ini, pemerintah mulai tahun ajaran 2011/2012 menjadikan pendidikan
berbasis karakter sebagai gerakan nasional mulai dari Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD) sampai Perguruan Tinggi termasuk pendidikan nonformal dan
informal. Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyatakan, ”Pembentukan
karakter siswa tidak bisa lepas dari peran guru. Bagaimana manusia Indonesia
pada tahun 2045 mendatang (100 tahun Indonesia merdeka), ditentukan bagaimana
guru membentuk siswa saat ini.”
Karenanya, di pundak guru terletak salah satu beban untuk merestorasi karakter dan kepribadian mulia bangsa Indonesia yang telah berada pada titik nadir. Guru diharapkan bisa mengembalikan peradaban bangsa yang tinggi, yang selama ini telah tergantikan dengan julukan bangsa yang korup, tidak memiliki kepribadian, bangsa yang kacau, jorok, bodoh, anarkis dan banyak atribut jelek lainnya yang kini melekat pada bangsa tercinta ini.
Kegagalan
membentuk karakter bangsa merupakan kesalahan kolektif yang harus dibenahi
bersama. Oleh karena itu solusi yang paling tepat untuk mengatasi masalah ini
adalah dengan berkomitmen untuk melakukan perbaikan secara kolektif pula.
Masing-masing kita harus instrospeksi diri dan berusaha keras untuk mencari
solusi guna memperbaiki dan mengembalikan serta meningkatkan karakter positif
bangsa. Lakukan yang terbaik yang kita bisa, jangan sibuk mencari kesalahan
orang lain. Tapi mari kita mulai dari diri kita, orang terdekat kita dan
tugas di bawah tanggung jawab kita. Dan guru adalah salah satu pilar penentu
keberhasilan pendidikan karakter.
Dari
berbagai asal dan dengan berbagai alasan banyak orang memilih profesi guru.
Apapun latar belakangnya, apapun motivasinya, dan apapun alasannya, profesi
guru menuntut kompetensi sebagai guru. Guru berkompeten yang diharapkan
tentu saja guru yang tidak hanya mengetahui tugas dan tanggungjawabnya, tapi
juga harus mampu melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dengan sebaik
mungkin. Merujuk pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, seorang
guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi profesional,
pedagogis, personal, dan sosial.
Dari keempat kompetensi tersebut, aspek yang paling mendasar untuk menjadi seorang guru yang berkarakter dan layak diteladani adalah aspek kepribadian (personalitas). Karena aspek kepribadian inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya komitmen diri, dedikasi, kepedulian, dan kemauan kuat untuk terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan. Seorang guru harus memiliki kematangan, baik intelektual maupun emosional. Kematangan ini terlihat dari kemampuan bernalar dan bertutur, memberi contoh dan sikap yang baik, mengerti perkembangan anak dengan segala persoalannya, kreatif, inovatif, menguasai materi dan banyak metode pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan, situasi dan intelegensi peserta didik. Menurut Rani Pardini yang dikutip oleh Adhi, R (2010), ada tiga model guru berdasarkan tingkatan kualitasnya, yaitu guru okupasional, guru profesional, dan guru vokasional. Guru okupasional adalah sosok guru yang menjalani profesi guru sekadarnya, tanpa kepedulian lebih memerhatikan anak didiknya. Guru profesional adalah guru yang memiliki tanggung jawab lebih memenuhi kualifikasi undang-undang dan syarat kompetensi guru sesuai dengan regulasi yang berlaku. Sementara guru vokasional adalah guru yang menjalani profesinya sebagai sebuah panggilan sehingga menjalani tugasnya dengan penuh antusias, sabar, komitmen, dan terus mengembangkan diri serta profesinya.
Dalam
mendidik karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model. Model yang
dapat ditemukan oleh peserta didik di lingkungan sekitarnya. Semakin dekat
model pada peserta didik akan semakin mudah dan efektiflah pendidikan
karakter tersebut. Peserta didik butuh contoh nyata, bukan hanya contoh yang
tertulis dalam buku apalagi contoh khayalan. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Berk yang dikutip oleh Sit, M (2010), prilaku moral diperoleh dengan
cara yang sama dengan respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan
penguatan. Lewat pembelajaran modeling akan terjadi internalisasi berbagai
prilaku moral, pro sosial dan aturan-aturan lainnya untuk tindakan yang baik.
Demikian
pula menurut Social Learning Theory dalam Bandura yang dikutip
oleh Hadiwinarto, perilaku manusia diperoleh melalui cara pengamatan model,
dari mengamati orang lain, membentuk ide dan perilaku-perilaku baru, dan
akhirnya digunakan sebagai arahan untuk beraksi. Sebab seseorang dapat
belajar dari contoh apa yang dikerjakan orang lain, sekurang-kurangnya
mendekati bentuk perilaku orang lain, dan terhindar dari kesalahan yang
dilakukan orang lain.
Guru sebagai uswah atau teladan harus memiliki modal dan sifat-sifat tertentu, di antaranya: Pertama, Guru harus meneladani Rasulullah Saw sebagai teladan seluruh alam. Sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya: ”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Kedua, guru harus benar-benar memahami prinsip-prinsip
keteladanan. Mulailah dengan ibda’ binafsih, yaitu dari diri sendiri. Dengan
demikian guru tidak hanya pandai bicara dan mengkritik tanpa pernah
menilai dirinya sendiri. Bercermin pada filosofi ”gayung mandi”, dalam
mendidik karakter guru jangan seperti gayung mandi. Gayung digunakan untuk
mandi bertujuan membersihkan, tapi ia sendiri tidak pernah mandi atau
membersihkan dirinya sendiri. Artinya guru harus mempraktikkannya terlebih
dahulu sebelum mengajarkan karakter kepada peserta didiknya.
Ketiga, guru harus mengetahui tahapan mendidik karakter. Sekurang-kurangnya melalui tiga tahapan pembelajaran yang penulis istilahkan dengan 3P yaitu: pemikiran, perasaan dan perbuatan. Tahapan pertama pemikiran; merupakan tahap memberikan pengetahuan tentang karakter. Pada tahapan ini guru berusaha mengisi akal, rasio dan logika siswa sehingga siswa mampu membedakan karakter positif (baik) dengan karakter negatif (tidak baik). Siswa mampu memahami secara logis dan rasional pentingnya karakter positif dan bahaya yang ditimbulkan karakter negatif. Selanjutnya tahap kedua dalam mendidik karakter ini diistilahkan dengan perasaan; merupakan tahap mencintai dan membutuhkan karakter positif. Pada tahapan ini guru berusaha menyentuh hati dan jiwa siswa bukan lagi akal, rasio dan logika. Diharapkan pada tahapan ini akan muncul kesadaran dari hati yang paling dalam akan pentingnya karakter positif, yang pada akhirnya akan melahirkan dorongan/keinginan yang kuat dari dalam diri untuk mempraktikkan karakter tersebut dalam kesehariannya. Disinilah tahap ketiga perbuatan berperan; pada tahapan ini dorongan/keinginan yang kuat pada diri siswa untuk mempraktikkan karakter positif diwujudkan dalam kehidupannya sehari-hari. Siswa menjadi lebih santun, ramah, penyayang, rajin, jujur, dan semakin menyenangkan, menyejukkan pandangan serta hati siapapun yang melihat dan berinteraksi dengannya. Keempat, Guru harus mengetahui bagaimana mengimplementasikan pendidikan karakter kepada siswa. Tanamkan pengertian betapa pentingnya "cinta" dalam melakukan sesuatu, tidak semata-mata karena prinsip timbal balik. Ciptakan hubungan yang mesra, agar siswa peduli terhadap keinginan dan harapan-harapan kita serta tumbuhkan rasa sayang terhadap sesama. Kelima, guru harus menyadari arti kehadirannya di tengah siswa, mengajar dengan ikhlas, memiliki kesadaran dan tanggungjawab sebagai pendidik untuk menanamkan nilai-nilai kebenaran. Mengajar bukan untuk sekadar melepaskan tugas, mengajar karena panggilan jiwa, mengajar dengan cinta, merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan siswa dunia akhirat, dan mampu mengarahkan siswa tentang arti hidup.
Dibutuhkan
kerja keras untuk mewujudkan cita-cita mulia ini. Guru harus mampu menjadi
modelnya. Kita tidak akan mampu membuat siswa rajin, tepat waktu, bertanggung
jawab dan lain sebagainya, jika kita tidak duluan mempraktikkannya. Negeri
ini tidak hanya membutuhkan pendidikan karakter, tapi negeri ini sangat
membutuhkan teladan dari pendidik karakter dan teladan dari semua komponen
bangsa. Dengan demikian keinginan untuk membentuk generasi Indonesia yang
santun, sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan memiliki kepenasaranan
intelektual sebagai modal dalam membangun kreatifitas dan daya inovasi dapat
terwujud sesuai harapan.
|
Selasa, 06 November 2012
Keteladanan guru dan Pendidikan karakter
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar